Bismillah
Ilustrasi Polisi melawan Teroris |
Belum selesai permasalahan berbau
SARA yang tengah melanda bangsa Indonesia, kini banyak pemberitaan terutama di media elektronik tentang aksi-aksi terorisisme yang dilancarkan sekelompok
orang yang menebar teror. Dan tidak tanggung-tanggung yang diancam adalah para
aparat penegak hukum. Baik dengan cara mengirim surat kaleng maupun dengan membuat Short Video (Video berdurasi pendek) yang isinya juga
adalah teror dan ancaman. Dilanjutkan dengan serangan berjibaku adu tembak Teroris versus Polisi.
Terorisme di Indonesia mulai
berkembang biak setelah peristiwa aksi terorisme berskala internasional yang
terjadi setahun setelah Era Millenium dirayakan secara besar-besaran, yaitu
Runtuhnya Gedung WTC (World Trade
Centre) New York, Amerika Serikat tanggal
11 September 2001 yang hampir menelan korban jiwa sebanyak 3000 orang
akibat ditabraknya dua pesawat komersil Amerika yang dibajak oleh teroris.
Bermula dari kejadian itu, aksi terorisme mulai merebak ke berbagai wilayah
negara, tak luput negara Indonesia juga menjadi target serangan kejam dari para
teroris. Berbagai peristiwa aksi terorisme yang memporak-porandakan pertahanan
dan keamanan negara Indonesia mencoret kinerja security alert, sistem hukum di
Indonesia. Dan peristiwa yang sedang hangat terjadi adalah aksi terorisme di
solo dan di depok dilakoni para teroris yang notabene masih tergolong para pemuda.
Terorisme menurut wikipedia adalah
serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror
terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi
terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang
selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan
sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu
bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang
dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai
senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta
menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan
memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror.
Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror
justru dilakukan dimana
saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin
disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat
perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war
Peristiwa bom bali |
Sangat sedih dan prihatin dan
itulah yang dirasakan oleh penulis ketika mendengar kabar aski teroris yang
mulai muncul kembali ke permukaan bumi pertiwi ini sehingga seolah-olah di
Indonesia ini tidak ada lagi tempat aman. Bahkan para aparat penegak hukum
dibuat kewalahan oleh ulah orang-orang tak berprikemanusian dalam aksi-aksi
terornya. Bagiamana tidak dicap sebagai orang tak punya prikemanusiaan dan hati
nurani, sedangkan akibat dari peristiwa terorisme amat sangat besar
kerugiannya; banyak korban warga sipil yang tak berdosa meregang nyawa (Peristiwa
berdarah 11/S/2001, 3000 orang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak
meninggal akibat tertimbun berton-ton reruntuhan puing gedung WTC; Peristiwa
Bom Bali menewaskan 184 rorang warga sipil), banyak yang menjadi korban
luka-luka (sekitar 300 orang terluka akibat dari Peristiwa Bom Bali)[1], belum lagi
banyak anak-anak kehilangan orang tua mereka sehingga menjadi yatim piatu (sekitar
1500 menjadi yatim piatu atas meninggalnya korban di WTC menurut Dana Yatim-Piatu
Twins Tower), orang tua kehilangan anaknya, suami kehilangan istri, istri
kehilangan suami, kerabat kehilangan saudara, sahabat kehilangan teman dsb.
Terus bagaimana dengan keadaan kondisi fisik psikologi korban yang terluka,
keluarga yang ditinggalkan, juga orang yang ikut menyaksikan langsung yang
mengalami traumatik yang berkepanjangan sehingga menjadi gila.
Kalau saja Sang teroris ini mau instropeksi
jiwa, apakah mereka juga akan merasakan hal yang sama. Coba ikuti ilustrasi dialog
jiwa penulis berikut ini;
Tanya Pak Bijak
: “jika semua keadaan yang dialami oleh orang-orang yang sudah disebutkan pada
paragraf di atas menimpa pada keluarganya, kerabat, teman dan sahabatnya,
apakah Saudara teroris ini akan merasakan hal yang sama?”
Jawab Sang Teroris : “Apa yang Saudara utarakan memang ada
benarnya, apa jadinya jika peristiwa itu menimpa pada diri, keluarga, sahabat,
teman saya. Pastinya saya akan berperang dalam hati melawan semangat jihad
perang dengan kesedihan yang mendalam. Dan mungkin saya sebagai manusia biasa,
tetap akan terasa kesedihan itu walau saya tahu kalau semua itu adalah resiko
dari jihad” (pikirnya yang sudah didoktrin oleh organisasi teroris).
Tanya Pak Bijak :
“Lalu bagaimana perasaan Saudara jika mengetahui kondisi orang tua Saudara yang
selalu prihatin, sedih dan cemas dengan kondisi Saudara seperti sekarang ini.
Sampai jatuh sakit bahkan sampai sakit keras? Dan bagaimana perasaaan Saudara
kalau seluruh masyarakat Indonesia mengucilkan bahkan memusuhi orang tua
Saudara, keluarga dan kerabat Saudara? Dan apa yang anda rasakan sebagai
manusia yang hakikinya adalah makhluk sosial dan tidak mungkin hidup sebatang
kara yang punya orang tua, istri, anak, keluarga dan kerabat, dan jika anggota
Densus 88 dengan cara sangat keras ala Anti-Teror menggeledah, mengobrak-abrik rumah
Saudara yang juga terkadang salah tangkap sehingga berujung korban terluka
parah namun salah tangkap? Coba jawab!.....katakan!.... dengan keras apa yang
Saudara rasakan di hati Saudara? Dimana hati nurani dan
perikamanusiaan Saudara?
Lanjut Pak Bijak : “Apakah dengan nge-bom sana, nge-bom sini,
yang juga dengan senang hati mengorbankan nyawa sendiri dengan membunuh orang
per-orang atau secara masal pada orang-orang yang Saudara anggap salah, kafir,
halal untuk dibunuh menjadikan Saudara ini menyandang sebagai Mujahid sejati,
calon ahli surga???. Padahal yang kamu bom, yang kamu bunuh mungkin diantaranya
ada yang ahli ibadah, ada yang taat beragama, ada yang tidak melakukan
perbuatan syirik, ada orang yang beriman, ada beragama Islam, ada orang
melaksanakan 5 rukun Islam dengan baik, ada temanmu sesama teroris namun sudah
sadar, ada gurumu yang pernah mengajari merakit bom namun sudah insaf, ada
keluarga dekat-jauhmu, dan yang paling tidak bisa diterima yaitu yang Saudara
bom, bunuh ialah Saudara Sebangsa dan Setanah air” (Bangsa dan Tanah Air
Indonesia).
Jawab Sang Teroris : “Stop, Pak Bijak jangan diteruskan
lagi”. (mata Sang teroris merah merona berlinang air mata dan wajahnya pusat
pasi)
Lanjut Pak Bijak :
“Lalu apa yang menjadi landasan pemahaman agama Saudara, yang tidak taat kepada
orang tua, membuat orang tua merasakan penderitaan yang sangat dalam atas ego
dan kerasnya hati Saudara pada ideologi pemahaman agama yang sangat estrim ini,
yang kau anggap sebagai solusi yang terbaik dengan membumihanguskan Saudara
se-tanah airmu sendiri?”.
Jawab Sang Teroris : “Itu bagian dari resiko dalam
melaksanakan jihad”, (lagi-lagi pemahaman yang sangat dangkal mengenai Jihad
“Fii Sabilillah”).
Lanjut Pak Bijak :
“Lalu dimana letak kedudukan ilmu agama yang pernah kau pelajari bahwa “Surga
itu ditelapak kaki ibu”[2], “Ridhonya Allah ada pada Ridhonya orang tua,
murkanya Allah ada pada murkanya orang tua”[3]. Tak sadarkah kau hei.... Sang
Teroris! bahwa kau ini telah membuat telapak kaki ibumu terbakar karena rasa
sakit hatinya dimusuhi orang-orang dimananpun dia tinggal, karena anaknya telah
di cap sebagai buronan Polisi sebagai Teroris. Dan juga telah membuat kedua
orang tuamu murka karena membuat hidup mereka menjadi tidak aman, tidak khusuk
beribadah, tidak diterima dimana-mana oleh masyarakat, juga tiba-tiba menjadi
bulan-bulanan aparat penegak hukum, para wartawan, aktivis untuk mengorek
segala informasi tentang keburukan anaknya ynag telah terjerumus jaringan
teroris”.
Jawab Sang Teroris : “Apa benar begitu, Pak Bijak. Masya
Allah, bagaimana itu tidak pernah sampai terpikirkan oleh saya. Apakah karena
saya terlalu bersemangat dengan membabi-buta menebar teror sebagai kewajiban
yang akan meningkatkan derajat saya di Surga (itu hanya anggapan Sang teroris
yang terlalu ekstrim melenceng dari keyakinan Agama, padahal semua Agama mengajarkan
Kebaikan). Padahal saya sudah tahu bahwa
orang tua adalah orang nomor satu yang memberi akibat, apakah saya ini bisa
masuk surga ataukah neraka. Dan saya pun masih ingat bagaimana akibat dari
melukai, menyakiti, bahkan hanya berkata “hus/ah” saja karena tidak taat atas
perintah orang tua yang tidak melanggar perintah Allah dan Rosul dilarang dalam
Al-Qur’an, pasti nerakanya[4]. Disamping itu saya juga tahu, meski itu hanya
dongeng cerita fiksi rakyat, seperti cerita maling kundang yang mendurhakai ibunya
akhirnya menjadi batu”. (Sang teroris mulai berinteropeksi dalam dirinya apakah
yang dia lakukan ini benar atau salah)
Lanjut Pak Bijak : “Dongeng
maling kundang yah. Bagaimana kalau saja berandai-andai ada dongeng lanjutan
tentang anak-anak yang durhaka pada orang tua, karena sudah terlalu sering menyakiti,
selalu membuat sakit hati, membangun murka dan hati tidak ridho berkepanjangan mengetahui
anak-anaknya bergabung dengan organisasi teroris, yang akhirnya tak sengaja
para orang tua mereka melaknat (mendo’akan jelek) anaknya menjadi batu seperti cerita dongeng
maling kundang. Maka negeri dongeng Indonesia menjadi aman, tentram, damai dari
kegananasan dan radikalisme teroris, karena mereka semua telah menjadi batu”.
Do’a Pak Bijak : Semoga Allah membuka pintu
hati Sang Teroris agar terbebas dari kegelapan yang tiada henti sehingga bisa
kembali ke jalan yang penuh cahaya, jalan yang diridhoi Allah dan orang tuanya.
Bisa memahami dengan jelas dan baik apa
arti jihad di jalan Allah yang sesungguhnya, dan bisa sesuai menempatkan apa
arti kafir kepada Allah (tidak percaya dengan Allah) karena hahikinya kafir dan
iman adalah hak prerogatif Allah, yang berhak secara mutlak menghukumi
seseorang itu kafir adalah Allah SWT. Aamiin,
Bahkan
dalam beberapa sabda beliau Nabi Muhammad SAW telah disebutkan sebagai
antisipasi atas vonis peng-kafiran terhadap orang lain, berikut dibawah ini;
- Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara dua orang itu, jika benar-benar seperti yang dia ucapkan, dan kalau tidak maka ungkapan tadi akan kembali kepada orang yang mengatakan sendiri.” [HR. Muslim dan Ahmad]
- Hadits Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu, dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekafiran atau dengan ucapan: ‘Wahai musuh Allah!’, sedangkan faktanya tidak demikian melainkan akan kembali kepadanya.” [HR. al-Bukhari dalam ‘Adabul Mufrad dan Muslim]
- Hadits Abu Dzar yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Bukhari dalam Shahihnya, Beliau juga bersabda: “Tiada seseorang melempar (ucapan kepada) orang lain dengan kefasikan maupun kekufuran, melainkan ucapan tersebut pasti kembali kepadanya, jika temannya (yang dicela) itu tidak ada sifat yang demikian.” [HR. al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dan Ahmad]
Sekian ilustrasi dialog jiwa penulis yang akan selalu memegang ideologi
keyakinan agama islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits sampai ajal
menjemput.
Semoga Allah selalu memberi hikmah dan hidayahNya. Aamiin
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
- Rosulallah SAW bersabda; “Bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada ibumu, karena sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya.” [HR. Imam Nasa’i dan Thabrani dengan sanad hasan]
- Rosulallah SAW bersabda; “Ridho Allah di dalam Ridhonya orang tua, Murka Allah di dalam murkanya orang tua” [HR. Tirmidzi]
- “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al Isra’ : 23 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon dimaklumi bagi yang belum bisa dibalas komentarnya. Karena penulis juga memiliki kewajiban dan kesibukan yang tidak bisa dtinggalkan. Tapi tak usah khawatir, insya Allah dibalas. Terima kasih atas kesediaannya untuk mampir ^_^