Jumat, 14 September 2012

Antara Sang Teroris, Orang Tua dan Hati Nurani

Bismillah


Ilustrasi Polisi melawan Teroris
Belum selesai permasalahan berbau SARA yang tengah melanda bangsa Indonesia, kini banyak pemberitaan terutama di media elektronik tentang aksi-aksi terorisisme yang dilancarkan sekelompok orang yang menebar teror. Dan tidak tanggung-tanggung yang diancam adalah para aparat penegak hukum. Baik dengan cara mengirim surat kaleng maupun dengan membuat Short Video (Video berdurasi pendek) yang isinya juga adalah teror dan ancaman. Dilanjutkan dengan serangan berjibaku adu tembak Teroris versus Polisi.

Terorisme di Indonesia mulai berkembang biak setelah peristiwa aksi terorisme berskala internasional yang terjadi setahun setelah Era Millenium dirayakan secara besar-besaran, yaitu Runtuhnya  Gedung WTC (World Trade Centre) New York, Amerika Serikat tanggal  11 September 2001 yang hampir menelan korban jiwa sebanyak 3000 orang akibat ditabraknya dua pesawat komersil Amerika yang dibajak oleh teroris. Bermula dari kejadian itu, aksi terorisme mulai merebak ke berbagai wilayah negara, tak luput negara Indonesia juga menjadi target serangan kejam dari para teroris. Berbagai peristiwa aksi terorisme yang memporak-porandakan pertahanan dan keamanan negara Indonesia mencoret kinerja security alert, sistem hukum di Indonesia. Dan peristiwa yang sedang hangat terjadi adalah aksi terorisme di solo dan di depok dilakoni para teroris yang notabene masih tergolong para pemuda.

Terorisme menurut wikipedia adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war

Peristiwa bom bali
Sangat sedih dan prihatin dan itulah yang dirasakan oleh penulis ketika mendengar kabar aski teroris yang mulai muncul kembali ke permukaan bumi pertiwi ini sehingga seolah-olah di Indonesia ini tidak ada lagi tempat aman. Bahkan para aparat penegak hukum dibuat kewalahan oleh ulah orang-orang tak berprikemanusian dalam aksi-aksi terornya. Bagiamana tidak dicap sebagai orang tak punya prikemanusiaan dan hati nurani, sedangkan akibat dari peristiwa terorisme amat sangat besar kerugiannya; banyak korban warga sipil yang tak berdosa meregang nyawa (Peristiwa berdarah 11/S/2001, 3000 orang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak meninggal akibat tertimbun berton-ton reruntuhan puing gedung WTC; Peristiwa Bom Bali menewaskan 184 rorang warga sipil), banyak yang menjadi korban luka-luka (sekitar 300 orang terluka akibat dari Peristiwa Bom Bali)[1], belum lagi banyak anak-anak kehilangan orang tua mereka sehingga menjadi yatim piatu (sekitar 1500 menjadi yatim piatu atas meninggalnya korban di WTC menurut Dana Yatim-Piatu Twins Tower), orang tua kehilangan anaknya, suami kehilangan istri, istri kehilangan suami, kerabat kehilangan saudara, sahabat kehilangan teman dsb. Terus bagaimana dengan keadaan kondisi fisik psikologi korban yang terluka, keluarga yang ditinggalkan, juga orang yang ikut menyaksikan langsung yang mengalami traumatik yang berkepanjangan sehingga menjadi gila. 

Kalau saja Sang teroris ini mau instropeksi jiwa, apakah mereka juga akan merasakan hal yang sama. Coba ikuti ilustrasi dialog jiwa penulis berikut ini;

Tanya Pak Bijak      : “jika semua keadaan yang dialami oleh orang-orang yang sudah disebutkan pada paragraf di atas menimpa pada keluarganya, kerabat, teman dan sahabatnya, apakah Saudara teroris ini akan merasakan hal yang sama?”

Jawab Sang Teroris    : “Apa yang Saudara utarakan memang ada benarnya, apa jadinya jika peristiwa itu menimpa pada diri, keluarga, sahabat, teman saya. Pastinya saya akan berperang dalam hati melawan semangat jihad perang dengan kesedihan yang mendalam. Dan mungkin saya sebagai manusia biasa, tetap akan terasa kesedihan itu walau saya tahu kalau semua itu adalah resiko dari jihad” (pikirnya yang sudah didoktrin oleh organisasi teroris).

Tanya Pak Bijak     : “Lalu bagaimana perasaan Saudara jika mengetahui kondisi orang tua Saudara yang selalu prihatin, sedih dan cemas dengan kondisi Saudara seperti sekarang ini. Sampai jatuh sakit bahkan sampai sakit keras? Dan bagaimana perasaaan Saudara kalau seluruh masyarakat Indonesia mengucilkan bahkan memusuhi orang tua Saudara, keluarga dan kerabat Saudara? Dan apa yang anda rasakan sebagai manusia yang hakikinya adalah makhluk sosial dan tidak mungkin hidup sebatang kara yang punya orang tua, istri, anak, keluarga dan kerabat, dan jika anggota Densus 88 dengan cara sangat keras ala Anti-Teror menggeledah, mengobrak-abrik rumah Saudara yang juga terkadang salah tangkap sehingga berujung korban terluka parah namun salah tangkap? Coba jawab!.....katakan!.... dengan keras apa yang Saudara rasakan di hati Saudara? Dimana hati nurani dan perikamanusiaan Saudara?

Lanjut Pak Bijak     :  “Apakah dengan nge-bom sana, nge-bom sini, yang juga dengan senang hati mengorbankan nyawa sendiri dengan membunuh orang per-orang atau secara masal pada orang-orang yang Saudara anggap salah, kafir, halal untuk dibunuh menjadikan Saudara ini menyandang sebagai Mujahid sejati, calon ahli surga???. Padahal yang kamu bom, yang kamu bunuh mungkin diantaranya ada yang ahli ibadah, ada yang taat beragama, ada yang tidak melakukan perbuatan syirik, ada orang yang beriman, ada beragama Islam, ada orang melaksanakan 5 rukun Islam dengan baik, ada temanmu sesama teroris namun sudah sadar, ada gurumu yang pernah mengajari merakit bom namun sudah insaf, ada keluarga dekat-jauhmu, dan yang paling tidak bisa diterima yaitu yang Saudara bom, bunuh ialah Saudara Sebangsa dan Setanah air” (Bangsa dan Tanah Air Indonesia).

Jawab Sang Teroris   : “Stop, Pak Bijak jangan diteruskan lagi”. (mata Sang teroris merah merona berlinang air mata dan wajahnya pusat pasi)

Lanjut Pak Bijak        : “Lalu apa yang menjadi landasan pemahaman agama Saudara, yang tidak taat kepada orang tua, membuat orang tua merasakan penderitaan yang sangat dalam atas ego dan kerasnya hati Saudara pada ideologi pemahaman agama yang sangat estrim ini, yang kau anggap sebagai solusi yang terbaik dengan membumihanguskan Saudara se-tanah airmu sendiri?”. 

Jawab Sang Teroris   : “Itu bagian dari resiko dalam melaksanakan jihad”, (lagi-lagi pemahaman yang sangat dangkal mengenai Jihad “Fii Sabilillah”).

Lanjut Pak Bijak    : “Lalu dimana letak kedudukan ilmu agama yang pernah kau pelajari bahwa “Surga itu ditelapak kaki ibu”[2], “Ridhonya Allah ada pada Ridhonya orang tua, murkanya Allah ada pada murkanya orang tua”[3]. Tak sadarkah kau hei.... Sang Teroris! bahwa kau ini telah membuat telapak kaki ibumu terbakar karena rasa sakit hatinya dimusuhi orang-orang dimananpun dia tinggal, karena anaknya telah di cap sebagai buronan Polisi sebagai Teroris. Dan juga telah membuat kedua orang tuamu murka karena membuat hidup mereka menjadi tidak aman, tidak khusuk beribadah, tidak diterima dimana-mana oleh masyarakat, juga tiba-tiba menjadi bulan-bulanan aparat penegak hukum, para wartawan, aktivis untuk mengorek segala informasi tentang keburukan anaknya ynag telah terjerumus jaringan teroris”. 

Jawab Sang Teroris  : “Apa benar begitu, Pak Bijak. Masya Allah, bagaimana itu tidak pernah sampai terpikirkan oleh saya. Apakah karena saya terlalu bersemangat dengan membabi-buta menebar teror sebagai kewajiban yang akan meningkatkan derajat saya di Surga (itu hanya anggapan Sang teroris yang terlalu ekstrim melenceng dari keyakinan Agama, padahal semua Agama mengajarkan Kebaikan).  Padahal saya sudah tahu bahwa orang tua adalah orang nomor satu yang memberi akibat, apakah saya ini bisa masuk surga ataukah neraka. Dan saya pun masih ingat bagaimana akibat dari melukai, menyakiti, bahkan hanya berkata “hus/ah” saja karena tidak taat atas perintah orang tua yang tidak melanggar perintah Allah dan Rosul dilarang dalam Al-Qur’an, pasti nerakanya[4]. Disamping itu saya juga tahu, meski itu hanya dongeng cerita fiksi rakyat, seperti cerita maling kundang yang mendurhakai ibunya akhirnya menjadi batu”. (Sang teroris mulai berinteropeksi dalam dirinya apakah yang dia lakukan ini benar atau salah)

Lanjut Pak Bijak : “Dongeng maling kundang yah. Bagaimana kalau saja berandai-andai ada dongeng lanjutan tentang anak-anak yang durhaka pada orang tua, karena sudah terlalu sering menyakiti, selalu membuat sakit hati, membangun murka dan hati tidak ridho berkepanjangan mengetahui anak-anaknya bergabung dengan organisasi teroris, yang akhirnya tak sengaja para orang tua mereka melaknat (mendo’akan jelek)  anaknya menjadi batu seperti cerita dongeng maling kundang. Maka negeri dongeng Indonesia menjadi aman, tentram, damai dari kegananasan dan radikalisme teroris, karena mereka semua telah menjadi batu”.

Do’a Pak Bijak    : Semoga Allah membuka pintu hati Sang Teroris agar terbebas dari kegelapan yang tiada henti sehingga bisa kembali ke jalan yang penuh cahaya, jalan yang diridhoi Allah dan orang tuanya.  Bisa memahami dengan jelas dan baik apa arti jihad di jalan Allah yang sesungguhnya, dan bisa sesuai menempatkan apa arti kafir kepada Allah (tidak percaya dengan Allah) karena hahikinya kafir dan iman adalah hak prerogatif Allah, yang berhak secara mutlak menghukumi seseorang itu kafir adalah Allah SWT.  Aamiin,                                                                     
Bahkan dalam beberapa sabda beliau Nabi Muhammad SAW telah disebutkan sebagai antisipasi atas vonis peng-kafiran terhadap orang lain, berikut dibawah ini;
  1. Hadits  ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara dua orang itu, jika benar-benar seperti yang dia ucapkan, dan kalau tidak maka ungkapan tadi akan kembali kepada orang yang mengatakan sendiri.” [HR. Muslim  dan Ahmad]
  2. Hadits Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu, dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekafiran atau dengan ucapan: ‘Wahai musuh Allah!’, sedangkan faktanya tidak demikian melainkan akan kembali kepadanya.” [HR. al-Bukhari dalam ‘Adabul Mufrad dan Muslim]
  3. Hadits Abu Dzar yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Bukhari dalam Shahihnya, Beliau juga bersabda: “Tiada seseorang melempar (ucapan kepada) orang lain dengan kefasikan maupun kekufuran, melainkan ucapan tersebut pasti kembali kepadanya, jika temannya (yang dicela) itu tidak ada sifat yang demikian.” [HR. al-Bukhari  dalam kitab Shahih-nya dan Ahmad]
Sekian ilustrasi dialog jiwa  penulis yang akan selalu memegang ideologi keyakinan agama islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits sampai ajal menjemput.

Semoga Allah selalu memberi hikmah dan hidayahNya. Aamiin 
 
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
  1. http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme 
  2. Rosulallah SAW bersabda; “Bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada ibumu, karena     sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya.” [HR. Imam Nasa’i dan Thabrani dengan sanad hasan] 
  3. Rosulallah SAW bersabda; “Ridho Allah di dalam Ridhonya orang tua, Murka Allah di dalam murkanya orang tua” [HR. Tirmidzi] 
  4. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al Isra’ : 23 ]